Jasa Penentuan Laba Usaha Bentuk Usaha Tetap
Bagi negara tempat investasi, hal ini merupakan peluang menambah penerimaan negara dari pajak. Pendekatan yang ditempuh adalah dari segi yuridis fiskal, dengan memberi definisi “bentuk usaha tetap” (BUT) dalam undang-undang perpajakan dan memberi batasan atas laba usaha dari BUT yang akan dipungut pajak. Begitu juga di Indonesia, yang sejak reformasi perpajakan 1983 menjadi topik menarik. Sejalan dengan hal itu, OECD sejak awal 1960-an telah mengembangkan model persetujuan penghindaran pajak berganda, yang senantiasa diubah sesuai perkembangan. Masalah yang menjadi topik pembahasan adalah penentuan laba usaha dari BUT, sebagaimana diatur pasal 7 OECD Model, yang menurut literatur perpajakan internasional disebut “attribution principle”.
Pengertian “laba usaha” harus diberi arti yang luas, karena laba usaha dari BUT tersebut juga meliputi keuntungan dari pengalihan harta dan penghasilan penggunaan harta. Pembahasan topik difokuskan kepada penghasilan yang diperoleh BUT dari luar negara, dimana BUT berada. Sejalan dengan pengertian laba usaha yang dimaksud harus diberi arti luas, pembahasan juga akan menyinggung masalah penggunaan aktiva yang boleh disusutkan suatu BUT, dalam kaitannya dengan dasar penyusutan.Dasar pembahasannya adalah OECD Model dan Undang-undang Pajak Penghasilan. Seperti diketahui pada 2001, OECD telah membentuk kelompok kerja untuk
membahas masalah ini. Tulisan ini mempergunakan laporan OECD sebagai bahan
pembahasan.
Penentuan laba usaha dari BUT dalam OECD Model diatur di Article 7, yang rumusannya seperti berikut:
“Article 7
Business Profits
1. The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment.
2. Subject to provisions of paragraph 3, where an enterprise of a Contracting State carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein, there shall in each Contracting State be attributed to that permanent establishment the profits which it might be expected to make if it were a distinct and separate enterprise engaged in the same or similar activities under the same or similar conditions and dealing wholly independently with the enterprise of which it is a permanent.
3. In determining the profits of a permanent establishment, there shall be allowed as deductions expenses which are incurred for the purposes of thepermanent establishment, including executive and general administrative expenses so incurred, whether in the State in which the permanentestablishment is situated or elsewhere.”
Rumusan tersebut mengandung beberapa masalah pokok, yaitu istilah profits of an enterprise (laba usaha dari suatu perusahaan), permanent establishment (BUT), dan attributable.
Definisi dari BUT diatur pada Article 5 dari OECD Model, yang rumusannya sebagai berikut:
“Article 5 – Permanent Establishment
1. For the purposes of this Convention, the term “permanent establishment” means a fixed place of business through which the business of enterprise is wholly or partly carried on.”
Definisi tersebut memberi indikasi, walaupun tidak terlalu jelas, bahwa laba usaha dari suatu BUT di suatu negara adalah yang diperoleh dari kegiatannyadi negara tersebut. Masalah pokok berkaitan dengan penentuan laba usaha dari BUT terletak dalam pengertian attributable yang berkaitan erat dengan profits of an enterprise. Sayangnya, OECD Commentary tidak memberikan penjelasan lebih lanjut atas apa yang dimaksud dengan “profits of an enterprise” itu.
Rumusan itu hanya mengatur laba usaha tidak dapat dikenai pajak di negara sumber kecuali kegiatannya dilakukan melalui suatu BUT. Kata “attributable” dalam OECD Model mencegah prinsip “force of attraction” sebagaimana diatur dalam United Nations Model (UN Model). Jadi profit merupakan kata kunci untuk membatasi hak pemajakan negara di mana BUT berada. Masalahnya, bagaimanakah kata profit diberi interpretasi. OECD pada 2001 memberikan dua pendekatan untuk menginterpretasikannya.
Pendekatan pertama adalah “relevant business activity”. Laba usaha yang “attributable” kepada BUT adalah laba usaha dari kegiatan di mana BUT tersebut berpartisipasi. Ini membatasi laba usaha BUT sesuai Article 7(1) dan (2) yaitu laba usaha BUT tidak akan melebihi laba usaha perusahaan tersebut secara keseluruhan.
Ini juga berarti pendekatan masalah berdasarkan “relevant business activity”, laba usaha dari perusahaan tidak dapat dianggap laba usaha dari BUT kecuali yang berasal dari yurisdiksi negara di mana BUT berada. Beberapa negara menerapkan pembatasan laba usaha suatu BUT dengan merujuk laba bersih dari semua cabang perusahaan atau sebagai alternatif lain dengan menggunakan “laba bruto”.
Tetapi, pendekatan ini tidak secara tegas menyebutkan laba usaha BUT hanya terbatas kepada penghasilan dari kegiatan dalam teritori di mana BUT berada. Pendekatan kedua adalah “functionally separate entity”. Pada dasarnya pendekatan ini tidak membatasi laba usaha BUT dengan melihat secara keseluruhan atau kepada transaksi atau kegiatan usaha tertentu di mana BUT berpartisipasi. Pendekatan ini mencegah diterapkannya “force of attraction”, karena hak pemajakan dari negara sumber hanya dibatasi kepada laba usaha sebagai hasil kegiatan BUT itu. Jadi jika ada kegiatan yang dilakukan kantor pusatnya yang tidak menimbulkan dampak pada BUT tidak dianggap sebagai laba usaha BUT tersebut.
HUBUNGI KAMI :
Hotline : (021) 22085079
Call/WA : 0818 0808 0605 (Ikhwan)
CAll/SMS : 0812 1009 8812/ 0812 1009 8813
Email: kjaashadi@gmail.com; info@kjaashadi.com